Sabtu, 11 November 2017

Aktivitas Enzim Amilase pada Air Ludah

LAPORAN PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
AKTIVITAS ENZIM AMILASE PADA AIR LUDAH (SALIVA)

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Praktikum Fisiologi Hewan yang Diampu Oleh : Siti Nurkamilah, M.Pd


Disusun Oleh :

               1.      Nadia Muwahidah                  15542031
               2.      Ade Lisna                               15543005
               3.      Yani Juniarti                            15543007
               4.      Dini Rahmayanti                     15544005
               5.      Teguh Imshan Karim              15544006
               6.      Neng Saadatul Muharomah    15544007





Program Studi Pendidikan Biologi
Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
STKIP-GARUT
2017


I.                  I.      Judul Percobaan
Aktivitas Enzim Amilase
II.                II.    Tujuan Percobaan
1.      Mengetahui dan memahami proses pencernaan makanan dengan bantuan saliva
2.      Untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap kerja enzim amilase
III.             III.  Alat dan Bahan Percobaan
Alat-alat          :
1.      Tabung reaksi berukuran 50 mL

2.      Beaker gelas berukuran 500 mL sebanyak 3 buah
3.      Beaker gelas berukuran 100 mL sebanyak 1 buah

4.      Kaki tiga sebanyak 3 buah


5.      Pembakar spirtus sebanyak 3 buah


6.      Corong berukuran kecil sebanyak 1 buah

7.      Thermometer sebanyak 1 buah

8.      Spatula sebanyak 1 buah

9.      Baki sebanyak 1 buah

10.  Pipet tetes sebanyak 2 buah

11.  Penjepit tabung reaksi sebanyak 1 buah

12.  Gelas Ukur sebanyak 1 buah

Bahan-bahan   :
1.      Air liur (saliva) sebanyak 40 mL
2.      Kain kassa sebagai penyaring air ludah
3.      Larutan amilum (air pati)
4.      Larutan lugol
5.      Larutan benedict

IV.             Landasan Teori
          Enzim adalah sekelompok protein yang berperan sebagai pengkatalis dalam reaksi-reaksi biologis. Enzim dapat juga didefenisikan sebagai biokatalisator yang dihasilkan oleh jaringan yang berfungsi meningkatkan laju reaksi dalam jaringan itu sendiri. Semua enzim yang diketahui hingga kini hampir seluruhnya adalah protein. Berat molekul enzim pun sangat beraneka ragam, meliputi rentang yang sangat luas.
         Dalam mempelajari mengenai enzim, dikenal beberapa istilah diantaranya holoenzim, apoenzim, kofaktor, gugus prostetik, koenzim, dan substrat. Apoenzim adalah suatu enzim yang seluruhnya terdiri dari protein, sedangkan holoenzim adalah enzim yang mengandung gugus protein dan gugus non protein. Gugus yang bukan protein tadi dikenal dengan istilah kofaktor. Pada kofaktor ada yang terikat kuat pada protein dan sukar terurai dalam larutan yang disebut gugus prostetik dan adapula yang tidak terikat kuat pada protein sehingga mudah terurai yang disebut koenzim. Baik gugus prostetik maupun koenzim, keduanya merupakan bagian yang memungkinkan enzim bekerja pada substrat. Substrat merupakan zat-zat yang diubah atau direaksikan oleh enzim.
Enzim meningkatkan laju sehingga terbentuk kesetimbangan kimia antara produk dan pereaksi. Pada keadaaan kesetimbangan, istilah pereaksi dan produktidaklah pasti dan bergantung pada pandangan kita. Dalam keadaan fisiologi yang normal, suatu enzim tidak mempengaruhi jumlah produk dan pereaksi yang sebenarnya dicapai tanpa kehadiran enzim. Jadi, jika keadaan kesetimbangan tidak menguntungkan bagi pembentukan senyawa, enzim tidak dapat mengubahnya.
Sebagai mana protein pada umumnya, molekul enzim juga mempunyai struktur tiga dimensi. Diantaranya jenis-jenis struktur tersebut, hanya satu saja yang mendukung fungsi enzim sebagai biokatalisator, diantaranya jenis-jenis struktur tersebut, diperlukan suhu dan pH yang sesuai. Apabila kedua faktor tersebut tidak terpenuhi, enzim akan kehilangan sifat dan kemampuannya (Sadikin, 2002).Secara dingkat, sifat-sifat enzim tersebut antara lain :
1. Berfungsi sebagi biokatalisator
2. Merupakan suatu protein
3. Bersifat khusus atau spesifik
4. Merupakan suatu koloid
5. Jumlah yang dibutuhkan tidak terlalu banyak
6. Tidak tahan panas
              Fungsi enzim sebagai katalis untuk reaksi kimia dapat terjadi baik didalam maupun diluar sel. Suatu enzim bekerja secara khas terhadap suatu substrat tertentu. Suatu enzim dapat bekerja 108 sampai 1011 kali lebih cepat dibandingkan laju reaksi tanpa katalis. Enzim bekerja sebagai katalis dengan cara menurunkan energi aktifasi, sehingga laju reaksi meningkat.
Enzim-enzim hingga kini diketahui berupoa molekul-molekul besar yang berat molekulnya ribuan. Karena enzim tersebut dilarutkandalam air, maka akan menjadi suatu koloid Beberapa enzim, diketahui memiliki kemampuan untuk mengubah substrat menjadi hasil akhir dan sebaliknya, yaitu mengubah kembali hasil akhir menjadi substrat jika kondisi lingkungan berubah. Contohnya adalah enzimenzim dari golongan protease dan urase serta beberapa jenis enzim lainnya.
            Suatu enzim hanya dapat bekerja spesifik pada suatu substrat untuk suatu perubahan tertentu. Misalnya, sukrase akan menguraikan rafinosa menjadi melibiosa dan fruktosa, sedangkan oleh emulsin, rafinosa tersebut akan terurai menjadi sukrosa dan galaktosa. Seperti halnya katalisator, enzim juga dipengaruhi oleh temperatur. Hanya saja enzim ini tidak tahan panas seperti katalisator lainnya. Kebanyakan enzim akan menjadi non aktif pada suhu 50°C
            Apabila suhu terlalu tinggi, struktur tiga dimensi enzim akan rusak, sehingga substrat tidak lagi dapat terikat dengannya. Dengan demikian enzim tersebut tidak akan dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai biokatalisator. Pada umumnya denaturasi ini bersifat tidak terbalikan atau permanen.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi enzim diantaranya adalah:
1.      Suhu
Oleh karena reaksi kimia itu dapat dipengaruhi suhu maka reaksi menggunakan katalis enzim dapat dipengaruhi oleh suhu. Di samping itu, karena enzim adalah suatu protein maka kenaikan suhu dapat menyebabkan denaturasi dan bagian aktif enzim akan terganggu sehingga konsentrasi dan kecepatan enzim berkurang.
2.      pH
Umumnya enzim efektifitas maksimum pada pH optimum, yang lazimnya berkisar antara pH 4,5-8.0. Pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah umumnya enzim menjadi non aktif secara irreversibel karena menjadi denaturasi protein.
3.      Konsentrasi enzim
Seperti pada katalis lain, kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan reaksibertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim.4. konsentrasi substrat hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepat reaksi. Akan tetapi, pada batas tertentu tidak terjadi kecepatan reaksi, walaupun konsenrasi substrat diperbesar.
4.      Zat-zat penghambat
Hambatan atau inhibisi suatu reaksi akan berpengaruh terhadap penggabungan substrat pada bagian aktif yang mengalami hambatan.Dalam banyak sistem akibat suhu tes reaksi enzim adalah mirip dengan tabiat bahwa laju reaksi meningkat dengan kenaikan suhu dan akhirnya enzim kehilangan semua aktivitas jika protein menjadi rusak akibat panas. Banyk enzim berfungsi optimal dalam batas-batas suhu antara 25-370C. Akibat dari pH terhadap suatu reaksi enzim menjadi rumit oleh beberapa factor yang dapat saling bersaing. Laju rekasi berkurang di kedua sisi pH optimum untuk setiap kombinasi dari tiga alasan yang mungkin.
Iodium lugol juga dikenal sebagai larutan Lugol, adalah suatu larutan dari unsur iodium dan kalium iodida dalam air. Larutan iodium Lugol sering digunakan sebagai antiseptik dan desinfektan, untuk desinfeksi darurat air minum, dan sebagai reagen untuk melacak pati dalam uji rutin laboratorium dan medis. Penggunaan tersebut mungkin karena larutan ini merupakan sumber dari unsur iodium bebas yang efektif, yang mudah dihasilkan dari ekuilibrasi antara molekul-molekul unsur iodium dan ion triodida dalam larutan tersebut.
Fungsi lugol
a.      Sebagai Mordant
Sebagai mordant ketika kinerja Pewarnaan Gram. Lugol digunakan selama 1 menit setelah mewarnai dengan kristal violet, tetapi sebelum etanol untuk memastikan bahwa peptidoglikan  organisme gram positif tetap diwarnai, mudah meng-identifikasinya sebagai gram positif dalam mikroskop.
b.      Sebagai Indikator
Larutan ini dapat digunakan sebagai uji indikator atas adanya pati dalam senyawa organik, dengan mana larutan ini bereaksi dengan mengubah warna biru-gelap/hitam.  Larutan unsur iodium seperti Lugol akan mewarnai pati/kanji karena interaksi iodium dengan struktur lingkar polisakarida. Pati termasuk pati tanaman amilosa dan amilopektin, serta glikogen pada sel hewan. Larutan Lugol tidak akan mendeteksi gula-gula sederhana seperti glukosa atau fruktosa. Pada kondisi patologis, deposit amiloid (yaitu, deposit yang berwarna seperti pati, tetapi tidak) dapat begitu berlimpah bahwa organ yang terkena dampak juga akan ternoda terlalu positif untuk reaksi Lugol untuk pati.
c.       Sebagai Pewarna Sel
Lugol dapat digunakan sebagai pewarna sel, membuat inti sel lebih terlihat dan untuk mengawetkan sampel fitoplankton.
d.      Sebagai Uji Schiller
Selama kolposkopi, iodium Lugol digunakan pada vagina dan leher rahim. Yang normal noda jaringan vagina coklat karena kandungan glikogen yang tinggi, sedangkan jaringan yang mencurigakan untuk kanker tidak ternodai, dan dengan demikian tampak pucat dibandingkan dengan jaringan sekitarnya. Biopsi jaringan yang mencurigakan kemudian dapat dilakukan. Ini disebut Uji Schiller.
e.       Sebagai Penguat Visualisasi Mukogingival
Iodium Lugol boleh juga digunakan untuk lebih mem-visualisasikan persimpangan mukogingival di mulut. Mirip dengan metode pewarnaan yang disebutkan di atas mengenai kolposkopi, mukosa alveolar memiliki kandungan glikogen yang tinggi yang memberikan reaksi iodium positif terhadap gingival berkeratin.
f.       Untuk Eksperimen
Larutan Lugol juga dapat digunakan dalam berbagai eksperimen untuk mengamati bagaimana membran sel menggunakan osmosis dan difusi.
g.      Sebagai Pengoksidasi Germisida
Iodium Lugol boleh juga digunakan sebagai pengoksidasi germisida, namun itu agak tidak diinginkan dalam hal ini dapat menyebabkan jaringan parut dan kulit kehilangan warna untuk sementara. Salah satu cara untuk menghindari masalah ini adalah dengan menggunakan larutan etanol 70% untuk mencuci iodium nanti.
Pengertian Reagen Benedict
Reagen Benedict adalah reagen kimia yang biasa digunakan untuk mendeteksi adanya gula pereduksi, tapi bahan pereduksi lainnya juga dapat memberikan hasil positif. Gula pereduksi mencakup monosakarida dan beberapa disakarida, termasuk laktosa dan maltosa. Larutan Benedict dapat digunakan untuk menguji adanya glukosa dalam urine. Beberapa gula seperti glukosa disebut gula pereduksi karena mereka mampu mentransfer hidrogen (elektron) ke senyawa lain, proses yang disebut reduksi. Ketika gula pereduksi dicampur dengan reagen benedicts dan dipanaskan maka akan menyebabkan reagen benedicts berubah warna. Warna ini bervariasi dari hijau sampai merah bata, tergantung pada jumlah dan jenis gula.
Interprestasi Hasil Tes Benedict
(-) tidak terjadi perubahan warna / tetap biru jernih (kadar glukosa < 0,5%)
(+1) terjadi warna hijau kekuningan (kadar glukosa 0,5% – 1%) (+2) terjadi warna kuning keruh (kadar glukosa 1% – 1,5%)
(+3) terjadi warna jingga / lumpur keruh (kadar glukosa 2% – 3,5%) (+4) terjadi warna merah bata (kadar glukosa >3,5%)
Fungsi Reagen benedict
Uji benedict atau tes benedict digunakan untuk menunjukkan adanya monosakarida dan gula pereduksi. Tembaga sulfat dalam reagen benedict akan bereaksi dengan monosakarida dan gula pereduksi membentuk endapan berwarna merah bata. Monosakarida dan gula pereduksi dapat bereaksi dengan reagen benedict karena keduanya mengandung aldehida ataupun keton bebas. Hasil positif ditunjukkan dengan perubahan warna larutan menjadi hijau, kuning, orange, atau merah bata dan muncul endapan hijau, kuning, orange atau merah bata.
Uji benedict digunakan untuk mendeteksi adanya gula dalam urin yang apabila urin diuji dengan uji benedict menunjukkan hasil positif dapat menjadi pertanda adanya kelainan yang biasa disebut diabetes mellitus.
V.                V.     Prosedur Percobaan
1.      Dikumpulkan Air Liur (saliva) sebanyak 40 mL
2.   Dipersiapkan 2 alat kaki tiga beserta kassa asbes dan 2 pembakar spirtus untuk proses pemanasan
3.     Disediakan air keran 400 mL di dalam 1 Beaker gelas untuk dipanaskan dengan suhu 36°C - 37°C, 1 Beaker gelas dengan suhu > 70°C dan 1 Beaker gelas dengan suhu normal (28°C)
4.      Dipersiapkan alat Tabung reaksi
5.      Disaring air liur  dengan kain kassa
6.      Dimasukan 5 mL larutan amilum kedala m 6 Tabung reaksi lalu diamkan selama 10 menit didalam beaker gelas dengan suhu yang berbeda, masing-masing 2 buah tabung reaksi
7.   Setelah itu Dimasukan 15 tetes air ludah kedalam 6 tabung reaksi yang sudah terdapat 5 mL larutan amilum
8.      Untuk beaker gelas bersuhu normal dimasukan 2 tabung reaksi
9.      Lakukan hal sama pada masing-masing Beaker gelas dengan suhu yang berbeda
10. Diteteskan 2 tetes larutan lugol kedalam salah satu tabung reaksi dan 2 tetes benedict tabung reaksi yang lainnya, lakukan hal yang sama pada tabung reaksi yang berbeda suhu didalam beaker gelas
11.  Ketika pengocok dilakukan tabung reaksi tidak boleh dikeluarkan dari beaker gelas untuk menjaga suhu tetap stabil, pengocokan selama 1 menit sekali sampai terjadi titik achromatis
12.  Dicatat perubahan warna pada tabung reaksi pada setiap menit
13.  Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan sampai mencapai titik achromatis yang ditandai dengan perubahan warna menjadi warna semula, jika dalam 20 kali pengulangan belum mencapai titik achromatis maka pengulangan dihentikan
14.  Semua pengamatan ke 3 suhu Dibandingkan hasilnya

I.                  VI.   Hasil Pengamatan

          Percobaan Pada Suhu Normal

No
Waktu
Perubahan Warna
Lugol
Benedict
1
1 menit ke 1
Ungu +++
Biru ++
2
1 menit ke 2
Ungu +++
Biru +++
3
1 menit ke 3
Ungu +++
Biru ++
4
1 menit ke 4
Ungu +++
Biru ++
5
1 menit ke 5
Ungu +++
Biru ++
6
1 menit ke 6
Ungu +++
Biru ++
7
1 menit ke 7
Ungu ++
Biru ++
8
1 menit ke 8
Ungu ++
Biru ++
9
1 menit ke 9
Ungu ++
Biru +
10
1 menit ke 10
Ungu ++
Biru +
11
1 menit ke 11
Ungu ++
Biru +
12
1 menit ke 12
Ungu ++
Biru +
13
1 menit ke 13
Ungu ++
Biru +
14
1 menit ke 14
Ungu ++
Biru +
15
1 menit ke 15
Ungu ++
Biru +
16
1 menit ke 16
Ungu ++
Biru +
17
1 menit ke 17
Ungu ++
Biru +
18
1 menit ke 18
Ungu ++
Biru +
19
1 menit ke 19
Ungu ++
Biru +
20
1 menit ke 20
Ungu ++
Biru +



Percobaan Pada Suhu 36°C - 37°C



No
Waktu
Perubahan Warna
Lugol
Benedict
1
1 menit ke 1
Ungu +
Biru +
2
1 menit ke 2
Ungu ++
Biru bagian atas Bening
3
1 menit ke 3
Ungu ++
Biru ++ bagian atas Putih
4
1 menit ke 4
Ungu +
Biru ++ bagian atas Putih
5
1 menit ke 5
Putih
Biru ++ bagian atas Putih
6
1 menit ke 6
-
Biru ++ bagian atas Putih
7
1 menit ke 7
-
Biru ++
8
1 menit ke 8
-
Biru ++
9
1 menit ke 9
-
Biru ++
10
1 menit ke 10
-
Biru ++
11
1 menit ke 11
-
Biru +++
12
1 menit ke 12
-
Biru +++
13
1 menit ke 13
-
Biru +++
14
1 menit ke 14
-
Biru +++
15
1 menit ke 15
-
Biru +++
16
1 menit ke 16
-
Biru +++
17
1 menit ke 17
-
Biru +++
18
1 menit ke 18
-
Biru +++
19
1 menit ke 19
-
Biru +++
20
1 menit ke 20
-
Biru +++

pada 1 menit ke 5 terjadi per ubahan warna menjadi putih, menandakan terjadinya titik achromatis









Percobaan Pada Suhu ≥ 70°C



No
Waktu
Perubahan Warna
Lugol
Benedict
1
1 menit ke 1
Ungu +++
Biru +++
2
1 menit ke 2
Ungu ++
Biru +++
3
1 menit ke 3
Ungu +
Biru +++
4
1 menit ke 4
Putih
Biru ++
5
1 menit ke 5
-
Biru ++
6
1 menit ke 6
-
Terjadi perubahan warna menjadi hijau ++
7
1 menit ke 7
-
Hijau ++
8
1 menit ke 8
-
Hijau ++
9
1 menit ke 9
-
Hijau ++
10
1 menit ke 10
-
Hijau ++
11
1 menit ke 11
-
Hijau ++
12
1 menit ke 12
-
Hijau ++
13
1 menit ke 13
-
Hijau ++
14
1 menit ke 14
-
Hijau ++
15
1 menit ke 15
-
Hijau ++
16
1 menit ke 16
-
Hijau ++
17
1 menit ke 17
-
Hijau ++
18
1 menit ke 18
-
Hijau ++
19
1 menit ke 19
-
Hijau ++
20
1 menit ke 20
-
Hijau ++


Warna awal Biru, pada 1 menit ke 6 terjadi perubahan warna menjadi hijau

Keterangan :
             1.      Sangat Pekat    =  ++++
             2.      Pekat                =  +++
             3.      Sedang             =  ++
             4.      Tidak Pekat      =  +
     



      VII.       Pembahasan
1.      Aktivitas Enzim Pada Suhu Normal        
Pada percobaan kali ini kelompok kami melakukan uji aktivitas enzim amillase yang berada pada air ludah atau disebut juga saliva . Percobaan ini dilakukan sebanyak 3 kali pengamatan dengan perlakuan masing masing yang berbeda beda. Yang pertama dilakukan pada suhu normal yaitu 24˚C, yang kedua pada suhu 36-37 ˚C, dan yang ketiga pada suhu  ˃ 70 ˚C.
Pengamatan yang pertama dilakukan terhadap suhu  normal atau pada suhu 24 ˚C keadaan larutan amilum pada kedua tabung reaksi berwarna putih sebelum di tambahkan larutan apapun. Setelah 5 menit kemudian ditambahkan 15 tetes saliva kedalam 2 tabung reaksi tersebut dan tetap tidak ada perubahan warna apapun, kemudian setelah di diamkan selama 10 menit larutan amilum tersebut yang masing masing diberi 2 tetes larutan benedict dan lugol kedalam masing masing tabung reaksi terjadi perubahan warna.
Larutan lugol yang berwarna merah ketika diteteskan kedalam larutan amilum tersebut menyebabkan larutan amilum berubah warna dari warna putih menjadi warna ungu pekat di 1 menit pertama, sedangkan tabung reaksi yang satunya ditambahkan larutan benedict berwarna biru dan menyebabkan larutan amilum tersebut berubah warna menjadi biru pekat.
Dari 1 menit pertama sampai pengulangan ke 6 tepatnya di 1 menit ke 6 perubahan warna larutan amilum dari putih menjadi ungu pekat, sedangkan dari 1  menit ke 7 sampai satu menit ke 20 larutan berubah warna dari ungu pekat ke ungu sedang. Pada  penambahan larutan  benedict  di 1 menit  kesatu dan  satu menit ke 2 terjadi perubahan warna larutan amilum dari warna putih menjadi warna biru pekat dan dari 1 menit ke 3 sampai satu menit ke 20 warna larutan berubah menjadi biru sedang.
Perubahan warna yang terjadi pada larutan lugol yang berwana ungu menandakan larutan tersebut banyak mengandung karbohidrat sedangkan pada larutan benedict yang berwarna biru menandakan larutan tersebut mengandung  banyak glukosa .
Pada praktikum uji enzim amilase pada suhu  normal sampai pengulangan ke 20 tidak terjadinya perubahan warna ke semula yaitu tabung reaksi  larutan amilum yang sudah ditambahkan dengan saliva kemudian ditambahkan larutan lugol  maupun benedict tidak ada yang berubah warna menjadi warna putih kembali. Ini menunjukan bahwa larutan amilum  pada suhu normal 24 ˚C belum mencapai titik achromatis. Hal ini di sebabkan bahwa enzim bekerja lambat pada suhu normal dan enzim tidak mudah rusak pada suhu ini dan enjim akan bekerja optimum pada suhu 30 sampai 40˚C.
2.      Pada suhu 36-37 oC
Pada suhu  yaitu 36-37oC merupakan suhu optimum enzim untuk bekerja. Pada praktikum di masukkan 2 tabung reaksi yang di dalamnya terdapat 5 mL larutan amilum berwarna putih, kemudian di diamkan selama 10 menit didalam beaker gelas pada suhu maksimum tersebut. Setelah itu dimasukkan 15 tetes air liur pada masing-masing tabung lalu pada tabung satu di tetesi 2 tetes larutan lugol, dan tabung yang satunya di tetesi 2 tetes larutan benedict. Setelah itu di lakukan pengocokkan selama 1 menit sekali sampai terjadi titik achromatis, agar suhu tetap stabil kedua tabung reaksi tersebut tidak boleh di keluarkan dari beaker gelas selama pengocokan berlangsung.
Pada tabung reaksi yangdi  tetesi oleh larutan lugol terjadi perubahan warna, dari yang tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 warnanya berubah menjadi warna ungu pekat, pada 1 menit2 warnanya menjadi ungu muda, pada 1 menit3 warnanya menjadi ungu memudar, pada 1 menit4 warnanya masih ungu memudar, dan pada 1 menit5 warnanya kembali menjadi putih   sehingga dapat di simpulkan bahwa di 1 menit5 mengalami titik achromatis. Titik achromatis yaitu titik dimana enzim tidak bereaksi lagi atau tidak terjadi lagi perubahan warna (Michael J. Pelczar.2006). Dengan kata lain, titik achromatis yaitu waktu dimana larutan amilum yang telah di campur saliva dan diberikan larutan lugol tidak mengeluarkan warna larutan amilum  atau kembali ke warna semula yaitu warna putih , hal tersebut menunjukkan bahwa enzim telah bekerja dengan baik.
Sedangkan, pada tabung reaksi yang di tetesi oleh larutan benedict terjadi perubahan warna, dari tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 warnanya menjadi biru, pada 1 menit2 terjadi perubahan warna menjadi biru atasnya bening, pada 1 menit3 terjadi perubahan warna menjadi biru bening, pada 1 menit4 - 1 menit10 menjadi warna biru memudar, pada 1 menit11 - 1 menit20 warnanya menjadi biru agak pekat. Dan warna biru agak pekat itu bertahan sampai pengulangan di 1 menit20 . Karena, setelah dilakukan pengulangan selama 20 kali tapi larutan  tidak mengalami titik achromatis ( kembali ke warna asal ) dari larutan amilum ketika ditetesi larutan benedict. Hal ini menunjukan bahwa enzim masih bekerja untuk mencerna larutan amilum.
3.      Suhu panas >70oC
Pada suhu maksimum yaitu >70oC di masukkan 2 tabung reaksi yang di dalamnya terdapat 5 mL larutan amilum berwarna putih, kemudian di diamkan selama 10 menit didalam beaker gelas pada suhu maksimum tersebut. Setelah itu dimasukkan 15 tetes air liur pada masing-masing tabung lalu pada tabung satu di tetesi 2 tetes larutan lugol, dan tabung yang satunya di tetesi 2 tetes larutan benedict. Setelah itu di lakukan pengocokkan selama 1 menit sekali sampai terjadi titik achromatis, agar suhu tetap stabil kedua tabung reaksi tersebut tidak boleh di keluarkan dari beaker gelas selama pengocokan berlangsung.
Pada tabung reaksi yang ditetesi oleh larutan lugol terjadi perubahan warna, dari yang tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 warnanya berubah menjadi warna ungu pekat, pada 1 menit2 warnanya menjadi ungu sedang, pada 1 menit3 warnanya menjadi ungu tidak pekat, dan pada 1 menit4 warnanya kembali menjadi putih, sehingga dapat di simpulkan bahwa di 1 menit4 mengalami titik achromatis. Titik achromatis yaitu titik dimana enzim tidak bereaksi lagi atau tidak terjadi lagi perubahan warna (Michael J. Pelczar.2006). Dengan kata lain, titik achromatis yaitu waktu dimana larutan amilum yang telah di campur saliva dan diberikan larutan lugol tidak mengeluarkan warna atau kembali ke warna asal, hal tersebut menunjukkan bahwa enzim bekerja dengan baik dan bekerja lebih cepat dibandingkan pada suhu 28 oC dan suhu 36-37 oC. Pada suhu panas ini enzim amylase sanagt cepat bereaksi dengan cepat akan tetapi mengalami kerusakan enzim lebih cepat karena enzim sangat mudah rusak di suhu panas. . Sehingga pada suhu ini enzim amylase mengalami denaturasi atau penghancuran sehingga aktivitas katalitiknya hilang.
Sedangkan, pada tabung reaksi yang di tetesi oleh larutan benedict terjadi perubahan warna, dari tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 - 1 menit3 menjadi warna biru pekat, pada 1 menit4 - 1 menit5 warnanya menjadi biru sedang, serta pada 1 menit6 terjadi perubahan warna dari yang tadinya berwarna biru sedang menjadi warna hijau sedang. Dan warna hijau sedang itu bertahan sampai pengulangan di 1 menit20 . Karena, setelah dilakukan pengulangan selama 20 kali tapi tidak terdapat perubahan titik achromatis ( kembali ke warna asal ) dari larutan amilum ketika tetesi larutan benedict. Hal ini menunjukan bahwa enzim masih bekerja untuk mencerna amilum  
I         VIII.   Kesimpulan
Proses pencernaan makanan menggunakan kelenjar saliva atau air ludah lebih cepat terjadi karena enzim amylase berfungsi untuk mengubah amilum menjadi glukosa sehingga proses pencernaan karbohidrat dapat dilakukan lebih cepat dibanding pencernaan karbohidrat yang tidak menggunakan enzim amylase akan bekerja lebih lambat
Temperatur atau suhu sangat berpengaruh terhadap aktivitas enzim amylase. Pada suhu normal 28 oC enzim bekerja lebh lambat. Pada suhu dibawah itu enzim mengalami koagulasi artinya i enzim tidak bekerja tetapi enzim juga tidak rusak. Pada suhu 36-37 oC enzim bekerja secara optimal dan mengalami titik achromatis pada 1 menit ke 5 dan pada suhu panas   >70oC larutan mengalami titik achromatis pada 1 menit ke 4.
Pada suhu 36-37 oC dan suhu >70oC proses reaksi larutan amilum yang ditambahkan dengan larutan lugol lebih mudah mengalami titik achromatis karena larutan lugol berfungsi sebagai indikator adanya pati atau amilum yang terdapat dalam larutan yang diuji. Karena kami menguji larutan amilum atau pati yang merupakan polysakarida titik achromatisnya lebih  mudah terjadi .lain halnya ketika penambahan larutan benedict yang merupakan indikator substrat gula yang lebih sederhana seperti glukosa dan fruktosa, maka dari itu titik achromatisnya lebih lama karena yang diuji adalah larutan amilum atau pati yang merupakan karbohidrat kompleks.


Saran
Untuk mengetahui titik achromatis larutan pada suhu normal (28 ˚C) dapat dilakukan penambahan larutan lugol dan benedict lebih banyak penambahan tidak hanya 20 kali pengulangan. Aka tetapi karena keterbatasan waktu maka kami hanya melakukan 20 kali pengulangan penambahan larutan lugol dan benedict.
Agar dapat diketahui titik achromatisnya pada suhu normal sebaiknya melakukan praktikum dalam waktu yang cukup lama dan dengan prosedur yang sesuai. 



          IX.   Daftar Pustaka
        http://www.edutafsi.com/2015/08/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kerja-enzimi.html?m=1    
         Isnaeni, Wiwi. (2006). Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius
         Maryati, Sri. 2000. Enzim. Jakarta :Erlangga
         Anonym. Enzim amylase. http://id.wikipedia.org/wiki/enzim amylase. [online].

I         X.   Jawaban Pertanyaan
           1.        Apa fungsi enzim amilase dan organ apa saja yang menghasilkannya?
               Fungsi enzim amilase adalah mengubah amilum menjadi glukosa dan maltos, organ yang menghasilkan adalah grandula sub mandibularis, parotis dan sub lingualis, enzim ini juga terdapat di dalam usus halus. Enzim amilase berfungsi memecah karbohidrat rantai panjang seperti amilum dan dekstrin, akan diurai menjadi molekul yang lebih sederhana maltosa sehingga mempermudah perjalanan kebagian bagian organ pencernaan lainnya. Di dalam mulut yang tercampur dengan air liur mengandung enzim amilase  ( ptyalin ) yang dihasilkan di daerah rongga mulut.
        2.        Apa fungsi saliva pada pencernaan makanan:
Fungsi saliva adalah :
a.    Membasahi makanan
b.    Membunuh mikroorganisme
c.    Membantu menelan
d.   Membersihkan dan membantu memelihara kesehatan rongga mulut
e.    Mencerna secara kimia amilum menjadi glukosa dan maltosa
   Di dalam rongga mulut terdapat saliva yang di hasilkan oleh kelenjar ludah yang mana berfungsi untuk membasahi makanan agar mudah di kunyah dan ditelan. Air ludah juga mengandung enzim ptyalin yang mengubah karbohidrat atau glukosa kompleks, menjadi disakarida yaitu gula sederhana agar mudah di proses lebih lanjut.

3.    Coba jelaskan urutan hidrolisis amilum!
a.   Di rongga mulut amilum sudah mulai mengalami pencernaan oleh enzim ptyalin yang terdapat di dalam air liur ( saliva ). Amilum yang dicerna didalam mulut berubah menjadi lebih halus yang disebut bolus.
b.      Bolus ditelan kedalam gaster. Di dalam gaster proses pencernaan amilum dan ptyalin tetap berlangsung.
c.       Didalam lambung tidak ada enzim yang dapat memecah karbohidrat. Jika makanan yang dimakan hanya terdiri dari karbohidratsaja maka akan tinggal di dalam gaster selama 2 jam. Dan segera di teruskan ke duodenum. Bolus yang merupakan gumpalan padat sekarang menjadi lebih cair disebut chimus.
d.      Di duodenum chymus dicampur dengan sekresi pancreas yang mengandung enzim amylopepsin.
e.       Karbohidrat yang tidak dapat dicerna di alirkan terus ke colon dan dibantu dengan mikroba yang terdapat di dalam usus melalui proses fermentasi dan menghasilkan energi untuk keperluan mikroba tersebut. Fermentasi yang meningkat di dalam colon menghasilkan banyak gas karbondioksida yang dikeluarkan dalam bentuk flatus ( kentut ). Sisa karbohidrat yang masih ada dibuang dalam bentuk tinja.


        XI.   Lampiran
       
Proses Pemanasan Larutan Tepung Beras 
Hasil Percobaan pada ke 3 suhu yang berbeda
Sampel tepung beras



Tidak ada komentar:

Posting Komentar