LAPORAN
PRAKTIKUM FISIOLOGI HEWAN
AKTIVITAS
ENZIM AMILASE PADA AIR LUDAH (SALIVA)
Diajukan Untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Mata Kuliah
Praktikum
Fisiologi Hewan yang Diampu Oleh : Siti Nurkamilah, M.Pd
Disusun Oleh :
1.
Nadia Muwahidah 15542031
2.
Ade Lisna 15543005
3.
Yani Juniarti 15543007
4.
Dini Rahmayanti 15544005
5.
Teguh Imshan Karim 15544006
6.
Neng Saadatul Muharomah 15544007
Program
Studi Pendidikan Biologi
Sekolah
Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan
STKIP-GARUT
2017
I. I. Judul Percobaan
Aktivitas Enzim Amilase
II. II. Tujuan Percobaan
1.
Mengetahui dan memahami proses pencernaan makanan dengan
bantuan saliva
2.
Untuk mengetahui pengaruh temperatur terhadap kerja enzim
amilase
III. III. Alat dan Bahan
Percobaan
Alat-alat :
1.
Tabung reaksi berukuran 50 mL
2.
Beaker gelas berukuran 500 mL sebanyak 3 buah
3.
Beaker gelas berukuran 100 mL sebanyak 1 buah
4.
Kaki tiga sebanyak 3 buah
5.
Pembakar spirtus sebanyak 3 buah
6.
Corong berukuran kecil sebanyak 1 buah
7.
Thermometer sebanyak 1 buah
8.
Spatula sebanyak 1 buah
9.
Baki sebanyak 1 buah
10.
Pipet tetes sebanyak 2 buah
11.
Penjepit tabung reaksi sebanyak 1 buah
Bahan-bahan :
1.
Air liur (saliva) sebanyak 40 mL
2.
Kain kassa sebagai penyaring air ludah
3.
Larutan amilum (air pati)
4.
Larutan lugol
5.
Larutan benedict
IV.
Landasan Teori
Enzim adalah sekelompok protein yang berperan sebagai pengkatalis dalam
reaksi-reaksi biologis. Enzim dapat juga didefenisikan sebagai biokatalisator
yang dihasilkan oleh jaringan yang berfungsi meningkatkan laju reaksi dalam
jaringan itu sendiri. Semua enzim yang diketahui hingga kini hampir seluruhnya
adalah protein. Berat molekul enzim pun sangat beraneka ragam, meliputi rentang
yang sangat luas.
Dalam
mempelajari mengenai enzim, dikenal beberapa istilah diantaranya holoenzim,
apoenzim, kofaktor, gugus prostetik, koenzim, dan substrat. Apoenzim adalah
suatu enzim yang seluruhnya terdiri dari protein, sedangkan holoenzim adalah
enzim yang mengandung gugus protein dan gugus non protein. Gugus yang bukan
protein tadi dikenal dengan istilah kofaktor. Pada kofaktor ada yang terikat
kuat pada protein dan sukar terurai dalam larutan yang disebut gugus prostetik
dan adapula yang tidak terikat kuat pada protein sehingga mudah terurai yang
disebut koenzim. Baik gugus prostetik maupun koenzim, keduanya merupakan bagian
yang memungkinkan enzim bekerja pada substrat. Substrat merupakan zat-zat yang
diubah atau direaksikan oleh enzim.
Enzim meningkatkan laju
sehingga terbentuk kesetimbangan kimia antara produk dan pereaksi. Pada
keadaaan kesetimbangan, istilah pereaksi dan produktidaklah pasti dan
bergantung pada pandangan kita. Dalam keadaan fisiologi yang normal, suatu
enzim tidak mempengaruhi jumlah produk dan pereaksi yang sebenarnya dicapai
tanpa kehadiran enzim. Jadi, jika keadaan kesetimbangan tidak menguntungkan
bagi pembentukan senyawa, enzim tidak dapat mengubahnya.
Sebagai mana protein
pada umumnya, molekul enzim juga mempunyai struktur tiga dimensi. Diantaranya
jenis-jenis struktur tersebut, hanya satu saja yang mendukung fungsi enzim
sebagai biokatalisator, diantaranya jenis-jenis struktur tersebut, diperlukan
suhu dan pH yang sesuai. Apabila kedua faktor tersebut tidak terpenuhi, enzim
akan kehilangan sifat dan kemampuannya (Sadikin, 2002).Secara dingkat, sifat-sifat
enzim tersebut antara lain :
1. Berfungsi sebagi biokatalisator
2. Merupakan suatu protein
3. Bersifat khusus atau spesifik
4. Merupakan suatu koloid
5. Jumlah yang dibutuhkan tidak terlalu banyak
6. Tidak tahan panas
Fungsi enzim sebagai katalis untuk reaksi kimia dapat terjadi baik
didalam maupun diluar sel. Suatu enzim bekerja secara khas terhadap suatu
substrat tertentu. Suatu enzim dapat bekerja 108 sampai 1011 kali lebih cepat
dibandingkan laju reaksi tanpa katalis. Enzim bekerja sebagai katalis dengan
cara menurunkan energi aktifasi, sehingga laju reaksi meningkat.
Enzim-enzim hingga kini diketahui berupoa
molekul-molekul besar yang berat molekulnya ribuan. Karena enzim tersebut
dilarutkandalam air, maka akan menjadi suatu koloid Beberapa enzim, diketahui
memiliki kemampuan untuk mengubah substrat menjadi hasil akhir dan sebaliknya,
yaitu mengubah kembali hasil akhir menjadi substrat jika kondisi lingkungan
berubah. Contohnya adalah enzimenzim dari golongan protease dan urase serta beberapa
jenis enzim lainnya.
Suatu enzim hanya dapat bekerja spesifik pada suatu substrat untuk suatu
perubahan tertentu. Misalnya, sukrase akan menguraikan rafinosa menjadi
melibiosa dan fruktosa, sedangkan oleh emulsin, rafinosa tersebut akan terurai
menjadi sukrosa dan galaktosa. Seperti halnya katalisator, enzim
juga dipengaruhi oleh temperatur. Hanya saja enzim ini tidak tahan panas
seperti katalisator lainnya. Kebanyakan enzim akan menjadi non aktif pada suhu
50°C
Apabila suhu terlalu tinggi, struktur tiga dimensi enzim akan rusak,
sehingga substrat tidak lagi dapat terikat dengannya. Dengan demikian enzim
tersebut tidak akan dapat menjalankan fungsinya lagi sebagai biokatalisator.
Pada umumnya denaturasi ini bersifat tidak terbalikan atau permanen.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi fungsi enzim
diantaranya adalah:
1.
Suhu
Oleh karena reaksi
kimia itu dapat dipengaruhi suhu maka reaksi menggunakan katalis enzim dapat
dipengaruhi oleh suhu. Di samping itu, karena enzim adalah suatu protein maka
kenaikan suhu dapat menyebabkan denaturasi dan bagian aktif enzim akan
terganggu sehingga konsentrasi dan kecepatan enzim berkurang.
2.
pH
Umumnya enzim
efektifitas maksimum pada pH optimum, yang lazimnya berkisar antara pH 4,5-8.0.
Pada pH yang terlalu tinggi atau terlalu rendah umumnya enzim menjadi non aktif
secara irreversibel karena menjadi denaturasi protein.
3.
Konsentrasi enzim
Seperti pada katalis
lain, kecepatan suatu reaksi yang menggunakan enzim tergantung pada konsentrasi
enzim tersebut. Pada suatu konsentrasi substrat tertentu, kecepatan
reaksibertambah dengan bertambahnya konsentrasi enzim.4. konsentrasi substrat
hasil eksperimen menunjukkan bahwa dengan konsentrasi substrat akan menaikkan
kecepat reaksi. Akan tetapi, pada batas tertentu tidak terjadi kecepatan
reaksi, walaupun konsenrasi substrat diperbesar.
4.
Zat-zat penghambat
Hambatan atau inhibisi suatu reaksi akan berpengaruh
terhadap penggabungan substrat pada bagian aktif yang mengalami hambatan.Dalam
banyak sistem akibat suhu tes reaksi enzim adalah mirip dengan tabiat bahwa
laju reaksi meningkat dengan kenaikan suhu dan akhirnya enzim kehilangan semua
aktivitas jika protein menjadi rusak akibat panas. Banyk enzim berfungsi
optimal dalam batas-batas suhu antara 25-370C. Akibat dari pH terhadap suatu
reaksi enzim menjadi rumit oleh beberapa factor yang dapat saling bersaing.
Laju rekasi berkurang di kedua sisi pH optimum untuk setiap kombinasi dari tiga
alasan yang mungkin.
Iodium lugol juga dikenal sebagai
larutan Lugol, adalah suatu larutan dari unsur iodium dan kalium
iodida dalam air. Larutan iodium Lugol sering digunakan sebagai antiseptik dan
desinfektan, untuk desinfeksi darurat air minum, dan sebagai reagen untuk
melacak pati dalam uji rutin laboratorium dan medis. Penggunaan tersebut
mungkin karena larutan ini merupakan sumber dari unsur iodium bebas yang
efektif, yang mudah dihasilkan dari ekuilibrasi antara molekul-molekul unsur
iodium dan ion triodida dalam larutan tersebut.
Fungsi
lugol
a.
Sebagai Mordant
Sebagai mordant ketika kinerja Pewarnaan Gram. Lugol
digunakan selama 1 menit setelah mewarnai dengan kristal violet, tetapi sebelum
etanol untuk memastikan bahwa peptidoglikan organisme gram positif tetap
diwarnai, mudah meng-identifikasinya sebagai gram positif dalam mikroskop.
b.
Sebagai Indikator
Larutan ini dapat digunakan sebagai uji indikator
atas adanya pati dalam senyawa organik, dengan mana larutan ini bereaksi dengan
mengubah warna biru-gelap/hitam. Larutan unsur iodium seperti Lugol akan
mewarnai pati/kanji karena interaksi iodium dengan struktur lingkar
polisakarida. Pati termasuk pati tanaman amilosa dan amilopektin, serta
glikogen pada sel hewan. Larutan Lugol tidak akan mendeteksi gula-gula
sederhana seperti glukosa atau fruktosa. Pada kondisi patologis, deposit amiloid (yaitu,
deposit yang berwarna seperti pati, tetapi tidak) dapat begitu berlimpah bahwa
organ yang terkena dampak juga akan ternoda terlalu positif untuk reaksi Lugol
untuk pati.
c.
Sebagai Pewarna Sel
Lugol dapat digunakan sebagai pewarna sel, membuat
inti sel lebih terlihat dan untuk mengawetkan sampel fitoplankton.
d.
Sebagai Uji Schiller
Selama kolposkopi, iodium Lugol digunakan pada
vagina dan leher rahim. Yang normal noda jaringan vagina coklat karena kandungan
glikogen yang tinggi, sedangkan jaringan yang mencurigakan untuk kanker tidak
ternodai, dan dengan demikian tampak pucat dibandingkan dengan jaringan
sekitarnya. Biopsi jaringan yang mencurigakan kemudian dapat dilakukan. Ini
disebut Uji Schiller.
e.
Sebagai Penguat Visualisasi
Mukogingival
Iodium Lugol boleh juga digunakan untuk lebih
mem-visualisasikan persimpangan mukogingival di mulut. Mirip
dengan metode pewarnaan yang disebutkan di atas mengenai kolposkopi,
mukosa alveolar memiliki kandungan glikogen yang tinggi yang memberikan reaksi
iodium positif terhadap gingival berkeratin.
f.
Untuk Eksperimen
Larutan Lugol juga dapat digunakan dalam berbagai
eksperimen untuk mengamati bagaimana membran sel menggunakan osmosis dan
difusi.
g.
Sebagai Pengoksidasi Germisida
Iodium Lugol boleh juga digunakan sebagai
pengoksidasi germisida, namun itu agak tidak diinginkan dalam hal ini dapat
menyebabkan jaringan parut dan kulit kehilangan warna untuk sementara. Salah
satu cara untuk menghindari masalah ini adalah dengan menggunakan larutan
etanol 70% untuk mencuci iodium nanti.
Pengertian Reagen
Benedict
Reagen Benedict adalah reagen kimia yang
biasa digunakan untuk mendeteksi adanya gula pereduksi, tapi bahan pereduksi
lainnya juga dapat memberikan hasil positif. Gula pereduksi mencakup
monosakarida dan beberapa disakarida, termasuk laktosa dan maltosa. Larutan
Benedict dapat digunakan untuk menguji adanya glukosa dalam
urine. Beberapa gula seperti glukosa disebut gula pereduksi karena mereka
mampu mentransfer hidrogen (elektron) ke senyawa lain, proses yang disebut
reduksi. Ketika gula pereduksi dicampur dengan reagen benedicts dan
dipanaskan maka akan menyebabkan reagen benedicts berubah warna.
Warna ini bervariasi dari hijau sampai merah bata, tergantung pada jumlah dan
jenis gula.
Interprestasi Hasil Tes Benedict
(-) tidak terjadi perubahan warna / tetap biru jernih (kadar
glukosa < 0,5%)
(+1) terjadi warna hijau kekuningan (kadar glukosa 0,5% – 1%) (+2)
terjadi warna kuning keruh (kadar glukosa 1% – 1,5%)
(+3) terjadi warna jingga / lumpur keruh (kadar glukosa 2% – 3,5%)
(+4) terjadi warna merah bata (kadar glukosa >3,5%)
Fungsi Reagen benedict
Uji benedict atau tes benedict
digunakan untuk menunjukkan adanya monosakarida dan gula pereduksi. Tembaga
sulfat dalam reagen benedict akan bereaksi dengan monosakarida dan gula
pereduksi membentuk endapan berwarna merah bata. Monosakarida dan gula
pereduksi dapat bereaksi dengan reagen benedict karena keduanya mengandung
aldehida ataupun keton bebas. Hasil positif ditunjukkan dengan perubahan warna
larutan menjadi hijau, kuning, orange, atau merah bata dan muncul endapan
hijau, kuning, orange atau merah bata.
Uji benedict digunakan untuk
mendeteksi adanya gula dalam urin yang apabila urin diuji dengan uji benedict
menunjukkan hasil positif dapat menjadi pertanda adanya kelainan yang biasa
disebut diabetes mellitus.
V. V. Prosedur Percobaan
1.
Dikumpulkan Air Liur (saliva) sebanyak 40 mL
2. Dipersiapkan 2 alat kaki tiga beserta kassa asbes dan 2
pembakar spirtus untuk proses pemanasan
3. Disediakan air keran 400 mL di dalam 1 Beaker gelas untuk
dipanaskan dengan suhu 36°C - 37°C, 1 Beaker gelas dengan suhu > 70°C dan 1
Beaker gelas dengan suhu normal (28°C)
4.
Dipersiapkan alat Tabung reaksi
5.
Disaring air liur
dengan kain kassa
6.
Dimasukan 5 mL larutan amilum kedala m 6 Tabung reaksi
lalu diamkan selama 10 menit didalam beaker gelas dengan suhu yang berbeda,
masing-masing 2 buah tabung reaksi
7. Setelah itu Dimasukan 15 tetes air ludah kedalam 6 tabung
reaksi yang sudah terdapat 5 mL larutan amilum
8.
Untuk beaker gelas bersuhu normal dimasukan 2 tabung
reaksi
9.
Lakukan hal sama pada masing-masing Beaker gelas dengan
suhu yang berbeda
10. Diteteskan 2 tetes larutan lugol kedalam salah satu
tabung reaksi dan 2 tetes benedict tabung reaksi yang lainnya, lakukan hal yang
sama pada tabung reaksi yang berbeda suhu didalam beaker gelas
11.
Ketika pengocok dilakukan tabung reaksi tidak boleh
dikeluarkan dari beaker gelas untuk menjaga suhu tetap stabil, pengocokan
selama 1 menit sekali sampai terjadi titik achromatis
12.
Dicatat perubahan warna pada tabung reaksi pada setiap
menit
13.
Pengamatan dilakukan sebanyak 2 kali pengulangan sampai
mencapai titik achromatis yang ditandai dengan perubahan warna menjadi warna
semula, jika dalam 20 kali pengulangan belum mencapai titik achromatis maka
pengulangan dihentikan
14.
Semua pengamatan ke 3 suhu Dibandingkan hasilnya
I. VI. Hasil Pengamatan
Percobaan Pada Suhu Normal
Percobaan Pada Suhu Normal
No
|
Waktu
|
Perubahan Warna
|
|
Lugol
|
Benedict
|
||
1
|
1 menit
ke 1
|
Ungu
+++
|
Biru
++
|
2
|
1 menit
ke 2
|
Ungu
+++
|
Biru
+++
|
3
|
1 menit
ke 3
|
Ungu
+++
|
Biru
++
|
4
|
1 menit
ke 4
|
Ungu
+++
|
Biru
++
|
5
|
1 menit
ke 5
|
Ungu
+++
|
Biru
++
|
6
|
1 menit
ke 6
|
Ungu
+++
|
Biru
++
|
7
|
1 menit
ke 7
|
Ungu
++
|
Biru
++
|
8
|
1 menit
ke 8
|
Ungu
++
|
Biru
++
|
9
|
1 menit
ke 9
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
10
|
1 menit
ke 10
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
11
|
1 menit
ke 11
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
12
|
1 menit
ke 12
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
13
|
1 menit
ke 13
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
14
|
1 menit
ke 14
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
15
|
1 menit
ke 15
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
16
|
1 menit
ke 16
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
17
|
1 menit
ke 17
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
18
|
1 menit
ke 18
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
19
|
1 menit
ke 19
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
20
|
1 menit
ke 20
|
Ungu
++
|
Biru
+
|
Percobaan Pada Suhu 36°C - 37°C
No
|
Waktu
|
Perubahan Warna
|
|
Lugol
|
Benedict
|
||
1
|
1 menit
ke 1
|
Ungu
+
|
Biru
+
|
2
|
1 menit
ke 2
|
Ungu
++
|
Biru
bagian atas Bening
|
3
|
1 menit
ke 3
|
Ungu
++
|
Biru
++ bagian atas Putih
|
4
|
1 menit
ke 4
|
Ungu
+
|
Biru
++ bagian atas Putih
|
5
|
1 menit
ke 5
|
Putih
|
Biru
++ bagian atas Putih
|
6
|
1 menit
ke 6
|
-
|
Biru
++ bagian atas Putih
|
7
|
1 menit
ke 7
|
-
|
Biru
++
|
8
|
1 menit
ke 8
|
-
|
Biru
++
|
9
|
1 menit
ke 9
|
-
|
Biru
++
|
10
|
1 menit
ke 10
|
-
|
Biru
++
|
11
|
1 menit
ke 11
|
-
|
Biru
+++
|
12
|
1 menit
ke 12
|
-
|
Biru
+++
|
13
|
1 menit
ke 13
|
-
|
Biru
+++
|
14
|
1 menit
ke 14
|
-
|
Biru
+++
|
15
|
1 menit
ke 15
|
-
|
Biru
+++
|
16
|
1 menit
ke 16
|
-
|
Biru
+++
|
17
|
1 menit
ke 17
|
-
|
Biru
+++
|
18
|
1 menit
ke 18
|
-
|
Biru
+++
|
19
|
1 menit
ke 19
|
-
|
Biru
+++
|
20
|
1 menit
ke 20
|
-
|
Biru
+++
|
pada
1 menit ke 5 terjadi per ubahan warna menjadi putih, menandakan terjadinya titik
achromatis
|
Percobaan Pada Suhu ≥ 70°C
No
|
Waktu
|
Perubahan Warna
|
|
Lugol
|
Benedict
|
||
1
|
1 menit
ke 1
|
Ungu
+++
|
Biru
+++
|
2
|
1 menit
ke 2
|
Ungu
++
|
Biru
+++
|
3
|
1 menit
ke 3
|
Ungu
+
|
Biru
+++
|
4
|
1 menit
ke 4
|
Putih
|
Biru
++
|
5
|
1 menit
ke 5
|
-
|
Biru
++
|
6
|
1 menit
ke 6
|
-
|
Terjadi
perubahan warna menjadi hijau ++
|
7
|
1 menit
ke 7
|
-
|
Hijau
++
|
8
|
1 menit
ke 8
|
-
|
Hijau
++
|
9
|
1 menit
ke 9
|
-
|
Hijau
++
|
10
|
1 menit
ke 10
|
-
|
Hijau
++
|
11
|
1 menit
ke 11
|
-
|
Hijau
++
|
12
|
1 menit
ke 12
|
-
|
Hijau
++
|
13
|
1 menit
ke 13
|
-
|
Hijau
++
|
14
|
1 menit
ke 14
|
-
|
Hijau
++
|
15
|
1 menit
ke 15
|
-
|
Hijau
++
|
16
|
1 menit
ke 16
|
-
|
Hijau
++
|
17
|
1 menit
ke 17
|
-
|
Hijau
++
|
18
|
1 menit
ke 18
|
-
|
Hijau
++
|
19
|
1 menit
ke 19
|
-
|
Hijau
++
|
20
|
1 menit
ke 20
|
-
|
Hijau
++
|
Warna
awal Biru, pada 1 menit ke 6 terjadi perubahan warna menjadi hijau
|
Keterangan :
1. Sangat
Pekat = ++++
2. Pekat
= +++
3. Sedang
= ++
4. Tidak
Pekat = +
VII. Pembahasan
1.
Aktivitas Enzim
Pada Suhu Normal
Pada percobaan kali ini kelompok
kami melakukan uji aktivitas enzim amillase yang berada pada air ludah atau
disebut juga saliva . Percobaan ini dilakukan sebanyak 3 kali pengamatan dengan
perlakuan masing masing yang berbeda beda. Yang pertama dilakukan pada suhu
normal yaitu 24˚C, yang kedua pada suhu 36-37 ˚C, dan yang ketiga pada suhu ˃ 70
˚C.
Pengamatan yang pertama dilakukan
terhadap suhu normal atau pada suhu 24
˚C keadaan larutan amilum pada kedua tabung reaksi berwarna putih sebelum di
tambahkan larutan apapun. Setelah 5 menit kemudian ditambahkan 15 tetes saliva
kedalam 2 tabung reaksi tersebut dan tetap tidak ada perubahan warna apapun,
kemudian setelah di diamkan selama 10 menit larutan amilum tersebut yang masing
masing diberi 2 tetes larutan benedict dan lugol kedalam masing masing tabung
reaksi terjadi perubahan warna.
Larutan lugol yang berwarna merah
ketika diteteskan kedalam larutan amilum tersebut menyebabkan larutan amilum
berubah warna dari warna putih menjadi warna ungu pekat di 1 menit pertama,
sedangkan tabung reaksi yang satunya ditambahkan larutan benedict berwarna biru
dan menyebabkan larutan amilum tersebut berubah warna menjadi biru pekat.
Dari 1 menit pertama sampai
pengulangan ke 6 tepatnya di 1 menit ke 6 perubahan warna larutan amilum dari
putih menjadi ungu pekat, sedangkan dari 1
menit ke 7 sampai satu menit ke 20 larutan berubah warna dari ungu pekat
ke ungu sedang. Pada penambahan
larutan benedict di 1 menit
kesatu dan satu menit ke 2
terjadi perubahan warna larutan amilum dari warna putih menjadi warna biru
pekat dan dari 1 menit ke 3 sampai satu menit ke 20 warna larutan berubah
menjadi biru sedang.
Perubahan warna yang terjadi pada
larutan lugol yang berwana ungu menandakan larutan tersebut banyak mengandung
karbohidrat sedangkan pada larutan benedict yang berwarna biru menandakan
larutan tersebut mengandung banyak
glukosa .
Pada praktikum uji enzim amilase
pada suhu normal sampai pengulangan ke
20 tidak terjadinya perubahan warna ke semula yaitu tabung reaksi larutan amilum yang sudah ditambahkan dengan
saliva kemudian ditambahkan larutan lugol
maupun benedict tidak ada yang berubah warna menjadi warna putih
kembali. Ini menunjukan bahwa larutan amilum
pada suhu normal 24 ˚C belum mencapai titik achromatis. Hal ini di
sebabkan bahwa enzim bekerja lambat pada suhu normal dan enzim tidak mudah rusak
pada suhu ini dan enjim akan bekerja optimum pada suhu 30 sampai 40˚C.
2. Pada suhu 36-37 oC
Pada suhu
yaitu 36-37oC merupakan suhu optimum enzim untuk bekerja.
Pada praktikum di masukkan 2 tabung reaksi yang di dalamnya terdapat 5 mL
larutan amilum berwarna putih, kemudian di diamkan selama 10 menit didalam
beaker gelas pada suhu maksimum tersebut. Setelah itu dimasukkan 15 tetes air
liur pada masing-masing tabung lalu pada tabung satu di tetesi 2 tetes larutan
lugol, dan tabung yang satunya di tetesi 2 tetes larutan benedict. Setelah itu
di lakukan pengocokkan selama 1 menit sekali sampai terjadi titik achromatis,
agar suhu tetap stabil kedua tabung reaksi tersebut tidak boleh di keluarkan
dari beaker gelas selama pengocokan berlangsung.
Pada tabung reaksi yangdi tetesi oleh larutan lugol terjadi perubahan
warna, dari yang tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 warnanya
berubah menjadi warna ungu pekat, pada 1 menit2 warnanya menjadi
ungu muda, pada 1 menit3 warnanya menjadi ungu memudar, pada 1 menit4
warnanya masih ungu memudar, dan pada 1 menit5
warnanya kembali menjadi putih sehingga dapat di simpulkan bahwa di 1 menit5
mengalami titik achromatis. Titik achromatis yaitu titik dimana enzim tidak
bereaksi lagi atau tidak terjadi lagi perubahan warna (Michael J.
Pelczar.2006). Dengan kata lain, titik achromatis yaitu waktu dimana larutan
amilum yang telah di campur saliva dan diberikan larutan lugol tidak
mengeluarkan warna larutan amilum atau
kembali ke warna semula yaitu warna putih , hal tersebut menunjukkan bahwa
enzim telah bekerja dengan baik.
Sedangkan,
pada tabung reaksi yang di tetesi oleh larutan benedict terjadi perubahan
warna, dari tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 warnanya menjadi
biru, pada 1 menit2
terjadi perubahan warna menjadi biru atasnya bening, pada 1 menit3
terjadi perubahan warna menjadi biru bening, pada 1 menit4 - 1 menit10
menjadi warna biru memudar, pada 1 menit11 - 1 menit20
warnanya menjadi biru agak pekat. Dan warna biru agak pekat itu bertahan sampai
pengulangan di 1 menit20 . Karena, setelah dilakukan pengulangan
selama 20 kali tapi larutan tidak
mengalami titik achromatis ( kembali ke warna asal ) dari larutan amilum ketika
ditetesi larutan benedict. Hal ini menunjukan bahwa enzim masih bekerja untuk
mencerna larutan amilum.
3.
Suhu panas >70oC
Pada suhu maksimum yaitu >70oC di
masukkan 2 tabung reaksi yang di dalamnya terdapat 5 mL larutan amilum berwarna
putih, kemudian di diamkan selama 10 menit didalam beaker gelas pada suhu
maksimum tersebut. Setelah itu dimasukkan 15 tetes air liur pada masing-masing
tabung lalu pada tabung satu di tetesi 2 tetes larutan lugol, dan tabung yang
satunya di tetesi 2 tetes larutan benedict. Setelah itu di lakukan pengocokkan
selama 1 menit sekali sampai terjadi titik achromatis, agar suhu tetap stabil
kedua tabung reaksi tersebut tidak boleh di keluarkan dari beaker gelas selama
pengocokan berlangsung.
Pada
tabung reaksi yang ditetesi oleh larutan lugol terjadi perubahan warna, dari
yang tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 warnanya berubah menjadi
warna ungu pekat, pada 1 menit2 warnanya menjadi ungu sedang, pada 1
menit3 warnanya menjadi ungu tidak pekat, dan pada 1 menit4
warnanya kembali menjadi putih, sehingga dapat di simpulkan bahwa di 1 menit4
mengalami titik achromatis. Titik achromatis yaitu titik dimana enzim tidak
bereaksi lagi atau tidak terjadi lagi perubahan warna (Michael J.
Pelczar.2006). Dengan kata lain, titik achromatis yaitu waktu dimana larutan
amilum yang telah di campur saliva dan diberikan larutan lugol tidak
mengeluarkan warna atau kembali ke warna asal, hal tersebut menunjukkan bahwa
enzim bekerja dengan baik dan bekerja lebih cepat dibandingkan pada suhu 28
oC dan suhu 36-37 oC. Pada suhu panas ini enzim amylase sanagt
cepat bereaksi dengan cepat akan tetapi mengalami kerusakan enzim lebih cepat
karena enzim sangat mudah rusak di suhu panas. . Sehingga pada suhu ini enzim
amylase mengalami denaturasi atau penghancuran sehingga aktivitas katalitiknya
hilang.
Sedangkan,
pada tabung reaksi yang di tetesi oleh larutan benedict terjadi perubahan
warna, dari tadinya berwarna putih, pada 1 menit1 - 1 menit3
menjadi warna biru pekat, pada 1 menit4 - 1 menit5
warnanya menjadi biru sedang, serta pada 1 menit6 terjadi perubahan
warna dari yang tadinya berwarna biru sedang menjadi warna hijau sedang. Dan
warna hijau sedang itu bertahan sampai pengulangan di 1 menit20 .
Karena, setelah dilakukan pengulangan selama 20 kali tapi tidak terdapat
perubahan titik achromatis ( kembali ke warna asal ) dari larutan amilum ketika
tetesi larutan benedict. Hal ini menunjukan bahwa enzim masih bekerja untuk
mencerna amilum
I VIII. Kesimpulan
Proses pencernaan makanan
menggunakan kelenjar saliva atau air ludah lebih cepat terjadi karena enzim
amylase berfungsi untuk mengubah amilum menjadi glukosa sehingga proses
pencernaan karbohidrat dapat dilakukan lebih cepat dibanding pencernaan
karbohidrat yang tidak menggunakan enzim amylase akan bekerja lebih lambat
Temperatur atau suhu sangat
berpengaruh terhadap aktivitas enzim amylase. Pada suhu normal 28 oC
enzim bekerja lebh lambat. Pada suhu dibawah itu enzim mengalami koagulasi artinya i
enzim tidak bekerja tetapi enzim juga tidak rusak. Pada suhu 36-37 oC
enzim bekerja secara optimal dan mengalami titik achromatis pada 1 menit ke 5
dan pada suhu panas >70oC
larutan mengalami titik achromatis pada 1 menit ke 4.
Pada suhu 36-37 oC dan
suhu >70oC proses reaksi larutan amilum yang ditambahkan dengan
larutan lugol lebih mudah mengalami titik achromatis karena larutan lugol
berfungsi sebagai indikator adanya pati atau amilum yang terdapat dalam larutan
yang diuji. Karena kami menguji larutan amilum atau pati yang merupakan
polysakarida titik achromatisnya lebih
mudah terjadi .lain halnya ketika penambahan larutan benedict yang
merupakan indikator substrat gula yang lebih sederhana seperti glukosa dan
fruktosa, maka dari itu titik achromatisnya lebih lama karena yang diuji adalah
larutan amilum atau pati yang merupakan karbohidrat kompleks.
Saran
Untuk mengetahui titik achromatis larutan pada suhu normal (28 ˚C) dapat dilakukan penambahan larutan lugol dan benedict
lebih banyak penambahan tidak hanya 20 kali pengulangan. Aka tetapi karena
keterbatasan waktu maka kami hanya melakukan 20 kali pengulangan penambahan
larutan lugol dan benedict.
Agar
dapat diketahui titik achromatisnya pada suhu normal sebaiknya melakukan
praktikum dalam waktu yang cukup lama dan dengan prosedur yang sesuai.
IX. Daftar Pustaka
http://www.edutafsi.com/2015/08/faktor-faktor-yang-mempengaruhi-kerja-enzimi.html?m=1
Isnaeni, Wiwi. (2006). Fisiologi Hewan. Yogyakarta: Kanisius
Maryati, Sri. 2000. Enzim. Jakarta :Erlangga
Anonym. Enzim amylase. http://id.wikipedia.org/wiki/enzim amylase. [online].
I X. Jawaban Pertanyaan
1. Apa fungsi enzim amilase dan organ apa saja yang menghasilkannya?
Fungsi enzim amilase adalah mengubah amilum menjadi glukosa dan maltos, organ yang menghasilkan adalah grandula sub mandibularis, parotis dan sub lingualis, enzim ini juga terdapat di dalam usus halus. Enzim amilase berfungsi memecah karbohidrat rantai panjang seperti amilum dan dekstrin, akan diurai menjadi molekul yang lebih sederhana maltosa sehingga mempermudah perjalanan kebagian bagian organ pencernaan lainnya. Di dalam mulut yang tercampur dengan air liur mengandung enzim amilase ( ptyalin ) yang dihasilkan di daerah rongga mulut.
2. Apa fungsi saliva pada pencernaan makanan:
Fungsi saliva adalah :
a. Membasahi makanan
b. Membunuh mikroorganisme
c. Membantu menelan
d. Membersihkan dan membantu memelihara kesehatan rongga mulut
e. Mencerna secara kimia amilum menjadi glukosa dan maltosa
Di dalam rongga mulut terdapat saliva yang di hasilkan oleh kelenjar ludah yang mana berfungsi untuk membasahi makanan agar mudah di kunyah dan ditelan. Air ludah juga mengandung enzim ptyalin yang mengubah karbohidrat atau glukosa kompleks, menjadi disakarida yaitu gula sederhana agar mudah di proses lebih lanjut.
3. Coba jelaskan urutan hidrolisis amilum!
a. Di rongga mulut amilum sudah mulai mengalami pencernaan oleh enzim ptyalin yang terdapat di dalam air liur ( saliva ). Amilum yang dicerna didalam mulut berubah menjadi lebih halus yang disebut bolus.
b. Bolus ditelan kedalam gaster. Di dalam gaster proses pencernaan amilum dan ptyalin tetap berlangsung.
c. Didalam lambung tidak ada enzim yang dapat memecah karbohidrat. Jika makanan yang dimakan hanya terdiri dari karbohidratsaja maka akan tinggal di dalam gaster selama 2 jam. Dan segera di teruskan ke duodenum. Bolus yang merupakan gumpalan padat sekarang menjadi lebih cair disebut chimus.
d. Di duodenum chymus dicampur dengan sekresi pancreas yang mengandung enzim amylopepsin.
e. Karbohidrat yang tidak dapat dicerna di alirkan terus ke colon dan dibantu dengan mikroba yang terdapat di dalam usus melalui proses fermentasi dan menghasilkan energi untuk keperluan mikroba tersebut. Fermentasi yang meningkat di dalam colon menghasilkan banyak gas karbondioksida yang dikeluarkan dalam bentuk flatus ( kentut ). Sisa karbohidrat yang masih ada dibuang dalam bentuk tinja.
XI. Lampiran
Sampel tepung beras |
Tidak ada komentar:
Posting Komentar